Memilih Pemimpin dan Syarat-syarat Menjadi Pemimpin
عن أبو هريرة رضي الله عنه قال، رسول الله صلى الله عليه وسلم قال:
إِذَا كَانَ ثَلاَثَةٌ فِي سَفَرٍ فَلْيُؤَمِّرُوا أَحَدَهُمْ
Dari Abu Hurairah, Rasulullah pernah bersabda: “Bila ada tiga orang bepergian, hendaknya mereka mengangkat salah seorang di antara mereka menjadi pemimpinnya.” (HR Abu Dawud)
Pelajaran yang terdapat didalam hadist:
1- Hadis ini memuat pesan bahwa kepemimpinan adalah hal penting dalam sebuah aktivitas bersama. Perjalanan tiga orang bisa dikatakan adalah kegiatan yang dilakukan oleh tim kecil. Artinya, perintah Nabi tersebut tentu lebih relevan lagi bila diterapkan dalam konteks komunitas yang lebih besar, mulai dari tingkat rukun tentangga (RT), rukun warga (RW), desa, kecamatan, kabupaten, provinsi, hingga negara. Juga ada lingkup-lingkup aktivitas lainnya yang memperlukan kebersamaan.
2- Hadirnya pemimpin membuat kerumunan massa menjadi jamaah yang terorganisasi: ada tujuan, pembagian peran, dan aturan yang ditegakkan bersama.
3- Bisa dibayangkan seandainya sebuah wilayah dengan populasi yang banyak tanpa pemimpin. Tentu kekacauan akan ada di mana-mana karena kehidupan sosial tidak terkontrol, kejahatan tanpa sanksi, dan sumber daya alam tidak terkelola secara tertib. Tak heran jika ada pendapat yang mengatakan bahwa pemimpin yang zalim lebih baik daripada tanpa kepemimpinan. Tentu ini bukan hendak menoleransi karakter pemimpin yang sewenang-wenang melainkan petunjuk betapa pentingnya mengangkat pemimpin dalam Islam.
4- Imam Al-Ghazali mengaitkan pentingnya pemimpin dengan kelestarian agama sebagai berikut:
المُلْكُ وَالدِّيْنُ تَوْأَمَانِ فَالدِّيْنُ أَصْلٌ وَالسُّلْطَانُ حَارِسٌ وَمَا لَا أَصْلَ لَهُ فَمَهْدُوْمٌ وَمَا لَا حَارِسَ لَهُ فَضَائِعٌ
“Kekuasaan dan agama merupakan dua saudara kembar. Agama sebagai landasan dan kekuasaan sebagai pengawalnya. Sesuatu yang tidak memiliki landasan pasti akan tumbang. Sedangkan sesuatu yang tidak memiliki pengawal akan tersia-siakan.” (Abu Hamid al-Ghazali, Ihyâ Ulumiddin, tt, Beirut: Darul Ma’rifah, Juz 1, h. 17)
5- Pertanyaannya, adalah pemimpin seperti apa mesti kita pilih? Sebagaimana yang tersemat dalam diri Rasulullah, kriteria pemimpin setidaknya memiliki empat sifat, yakni shiddiq (jujur), amanah (bertanggung jawab dan dapat terpercaya), tabligh (aspiratif dan dekat dengan rakyat), fathanah (cerdas, visioner).
6- Al-Mawardi rahimahullah dalam kitab al-Ahkâm ash-Shulthaniyah menyebutkan syarat-syarat seorang pemimpin, di antaranya:
- adil dengan ketentuan-ketentuannya.
- ilmu yang bisa mengantar kepada ijtihad dalam menetapkan permasalahan kontemporer dan hukum-hukum.
- sehat jasmani, berupa pendengaran, penglihatan dan lisan, agar ia dapat langsung menangani tugas kepemimpinan.
- normal (tidak cacat), yang tidak menghalanginya untuk bergerak dan bereaksi.
- bijak, yang bisa digunakan untuk mengurus rakyat dan mengatur kepentingan negara.
- keberanian, yang bisa digunakan untuk melindungi wilayah dan memerangi musuh.
Nilai lebih dalam hal kebijakan, kesabaran, keberanian, sehat jasmani dan rohani serta kecerdikan merupakan kriteria yang mutlak harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Tanpa memiliki kriteria itu, seorang pemimpin akan kesulitan dalam mengatur dan mengurus negara dan rakyatnya. Inilah sifat-sifat ideal yang mesti ada dalam diri pemimpin, di mana pun levelnya, apa pun jenis institusinya.
Tema hadist yang berkaitan dengan Al Quran :
- Berikut ini ayat2 al-Quran yang menunjukkan dengan jelas larangan memilih pemimpin non Muslim bagi wilayah yang mayoritas penduduknya Muslim. Allah menggunakan pilihan kata pemimpin dengan kata WALI. Padahal ada begitu banyak padanan kata pemimpin dalam bahasa arab selain kata wali. Misalnya kata Aamir, Raa’in, Haakim, Qowwam, Sayyid dsb. Mengapa Allah gunakan pilihan kata pemimpin dalam tersebut dengan kata WALI? Jawabnya adalah karena barangkali secara bahasa, kata Waliy (WALI) ini memiliki akar kata yang sama dengan kata wilaayatan (wilayah/daerah). Karena itu, penggunakan kata waliy dalam berbagai ayat di atas mengindikasikan bahwa definisi pemimpin yang dimaksud ayat-ayat dibawah adalah pemimpin yang bersifat kewilayahan. Dengan kata lain, non Muslim yang dilarang umat Islam memilihnya menjadi pemimpin adalah pemimpin yang menguasai suatu wilayah milik kaum Muslimin.
Allah Subhanahu Wata’ala berfirman
لاَّ يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاء مِن دُوْنِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَن يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللّهِ فِي شَيْءٍ إِلاَّ أَن تَتَّقُواْ مِنْهُمْ تُقَاةً وَيُحَذِّرُكُمُ اللّهُ نَفْسَهُ وَإِلَى اللّهِ الْمَصِيرُ
“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi WALI (waly) pemimpin, teman setia, pelindung) dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya, dan hanya kepada Allah kamu kembali.” (QS: Ali Imron [3]: 28)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَتَّخِذُواْ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاء مِن دُونِ الْمُؤْمِنِينَ أَتُرِيدُونَ أَن تَجْعَلُواْ لِلّهِ عَلَيْكُمْ سُلْطَاناً مُّبِيناً
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi WALI (pemimpin) dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah kami ingin mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu)?” (QS: An Nisa’ [4]: 144)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَتَّخِذُواْ الَّذِينَ اتَّخَذُواْ دِينَكُمْ هُزُواً وَلَعِباً مِّنَ الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ مِن قَبْلِكُمْ وَالْكُفَّارَ أَوْلِيَاء وَاتَّقُواْ اللّهَ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik) sebagai WALI (pemimpinmu). Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman.” (QS: Al-Ma’aidah [5]: 57)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَتَّخِذُواْ آبَاءكُمْ وَإِخْوَانَكُمْ أَوْلِيَاء إَنِ اسْتَحَبُّواْ الْكُفْرَ عَلَى الإِيمَانِ وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Hai orang-orang beriman, janganlah kamu jadikan bapak-bapak dan saudara- saudaramu menjadi WALI (pemimpin/pelindung) jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan, dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka WALI, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS: At-Taubah [9]: 23)
لَا تَجِدُ قَوْماً يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءهُمْ أَوْ أَبْنَاءهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ أُوْلَئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ الْإِيمَانَ وَأَيَّدَهُم بِرُوحٍ مِّنْهُ وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ أُوْلَئِكَ حِزْبُ اللَّهِ أَلَا إِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan rasul-Nya, sekali pun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara atau pun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada- nya. dan dimasukan-nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. allah ridha terhadap mereka, dan mereka pun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-nya. mereka itulah golongan allah. ketahuilah, bahwa sesungguhnya hizbullah itu adalah golongan yang beruntung.” (QS: Al Mujaadalah [58] : 22)
بَشِّرِ الْمُنَافِقِينَ بِأَنَّ لَهُمْ عَذَاباً أَلِيماً
الَّذِينَ يَتَّخِذُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاء مِن دُونِ الْمُؤْمِنِينَ أَيَبْتَغُونَ عِندَهُمُ الْعِزَّةَ فَإِنَّ العِزَّةَ لِلّهِ جَمِيعاً
“Kabarkanlah kepada orang-orang MUNAFIQ bahwa mereka akan mendapat siksaan yang pedih. (Yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi WALI (pemimpin/teman penolong) dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu ? Maka sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah.” (QS: An-Nisa’ [4]: 138-139)
🕌 Rosululloh Saw Pemimpin yang Memahamkan Suami Cara Mendidik Istri.
Sahih al-Bukhori:3084
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
اسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ. فَإِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلَعٍ، وَإِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ فِي الضِّلَعِ أَعْلاَهُ. فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيمُهُ كَسَرْتَهُ، وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ. فَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ.
👳🏼♂️ Dari Abu Hurairah ra, dia berkata: Rasulullah saw bersabda: Aku berpesan kepada kalian tentang wanita, karena wanita diciptakan dari tulang rusuk, dan tulang rusuk yang paling bengkok adalah pangkalnya, jika kamu mencoba untuk meluruskannya maka dia akan patah, namun bila kamu biarkan maka dia akan tetap bengkok. Untuk itu aku berpesan kepada kalian (jagalah) para wanita.
🧕🏼 Pesan:
1. Wanita diciptakan dari apa?
2. Benar, tulang rusuk yang paling bengkok.
3. Tulung rusuknya siapa?
4. Benar, tulang rusuk pasangannya, sebagaimana pelajaran yang terkandung dalam penciptaan manusia pertama, Nabi Adam as. Setelah penciptaan Adam as, Alloh SWT kemudian menciptakan Siti Hawa dari tulang rusuk Nabi Adam as.
5. Rasulullah berpesan pada kaum laki-laki untuk menjaga para wanita, karena wanita itu ibarat tulang iga yg rapuh jika diperlakukan dengan kasar bisa patah semangatnya.
6. Ada makna pendidikan dalam hadits ini yang ditujukan kepada para suami tentang tata cara mendidik istrinya atau pasangan hidupnya, yaitu tidak dg tergesa-gesa dan tidak menggunakan jalan kekerasan.
7. Karena jalan kekeasan dapat mematahkan semangat dari sang istri untuk keluar dari kelemahan-kelemahannya atau kebengkokannya. Dan tugas suami adalah menjaga istri/pasangan hidupnya dg kekuatan kesabaran dan ilmu pengetahuan agama.
8. Kenapa karakter wanita cenderung mengedepankan perasaan dan mudah emosi?.
9. Benar, hal ini dimungkinkan karena posisi tulang iga yg berdekatan dg hati/pusat perasaan.
10. Wanita yang berbahan awal tulang bengkok kemudian menjadi satu tinjauan atas penyebab kebanyakan penduduk neraka nantinya adalah kaum wanita, hal ini dibuktikan dg potensi kaum wanita yg tahu akan kebengkokannya (lemah dlm agama dan fisik).
11. Hal ini berbanding lurus dengan kecenderungan mereka untuk memamerkan keindahan tubuhnya yang semakin hari semakin meningkat seksinya dan hal ini menjadi pemicu kemaksiatan.
12. Ditambah lagi sedikit sekali istri yang berterimakasih kepada suami atas nafkah yg diberikannya. Semoga pembaca tidak termasuk. Aamiin.
13. Apakah tidak ada kemungkinan yang menandakan kebaikan atas diri wanita meskipun bahan mereka dari iga bengkok kemudian menjadi teladan kebaikan?.
14. Benar, ternyata banyak kategori dan terbuka lebar kesempatan bagi wanita yg demikian ingin menjadi lurus;
15. Disebutkan dalam al-Quran; wanita yg sholihat, qonaah, menjaga kemaluan, suka berbuat kebaikan dan berpuasa menjadi figur teladan bagi kaumnya dan berhak menjadi pemimpin bidadari surga.
16. Cukuplah kiranya rumah tangga yg bahagia itu berawal dari istri sholihah.
17. Semoga Alloh swt memberikan hidayah dan Inayah-Nya kepada kita, keluarga kita, anak keturunan kita dan muslimin semuanya untuk membentuk generasi wanita sholihat berawal dari keluarga kita, Aamiin Yarobbal'aalamiin